Kamis, 24 Juli 2014

BackPvcker

Catatan Penjelajah- Sang Pencari Kedamaian
            Bulir Emas dan Bulir Hitam
 


Aku terbangun dari mimpi panjangku dan mencoba untuk kembali ke dunia fana ini. Sulit memang untuk dapat memahami, dunia khayalan yang tak tersentuh dan tak dapat dikunjungi oleh siapapun selain diriku. Pagi itu kulihat diatas tanganku telah hadir dua buah pena yang berbulirkan tinta emas ditangan kanan dan satu lainnya berbulirkan tinta hitam ditangan kiriku. Kembali tersadar bahwa aku sedang tidak berada di dunia itu lagi, maka segera kuraih catatanku dan mulai kububuhi cairan emas dan hitam ke atas setiap inci kertas yang berwarna putih itu.
**** Tinta Emas ****
Demikian untuk pertama kalinya aku akan mengucapkan terima kasih kepada mereka. Doaku selama ini terjawabkan olehNya. Setiap luka dan kesedihan dengan menjadi saksi bisu yang selama ini aku rasakan perlahan mulai terobati. Sekian lama aku telah berusaha meminta kepada mereka agar segera menolongnya, seperti yang anda ketahui, pada hari ini jugalah mereka mulai dapat mendengar suaraku dan mencoba menolongnya. Perlahan setitik cahaya diujung jalan itu terlihat mendekat. Dunia gelap yang selama ini dia berada seolah akan sirna apabila titik cahaya itu tiba dihadapannya. Semoga kedatangan mereka belum terlambat. Kembali aku berdoa kepadaNya, agar mereka tetap dapat mendengar suaraku hingga dia dapat keluar dari dunia yang gelap itu. Dan kemudian dengan buliran emas ditubuhku ini aku menyebut mereka sahabat.

**** Tinta Hitam ****
“.........................................................................................................”
Demikian halaman awal yang dapat kuceritakan kepadamu. Doa dan harapan yang selama ini aku minta kepadaNya tak satupun dipenuhi olehNya. Sehingga akulah penderitaan terbesar baginya. Dihadapanku dunia tempat dia berada semakin bertambah gelap. Sejauh mataku dapat melihat hanya sebuah kegelapan kelamlah yang kudapatkan. Aku kembali takut, dimataku sosoknya mulai memudar, bahkan bayangannya pun telah hilang dari pandanganku. Kekhawatiran yang selama ini aku takutkan akhirnya tiba juga.
“Dengarkanlah tangisan hambaMu yang berdosa dan hina ini. Aku berteriak hingga menjerit agar ‘dia’ dapat menolongnya.”
Doa yang hingga sejuta kalinya aku ulangi. Tapi ‘dia’ malah menjauh dan tak pernah melirik ke arahku. Dengan buliran hitam ditubuhku ini aku tetap menyebutnya sahabat.
Berakhirlah cairan emas dan hitam itu mengotori kertas putih di catatanku. Tanpa kusadari, pena ditangan kiriku kuletakkan diatas meja. Sedangkan pena yang ditangan kananku, kugenggam erat dan tak akan pernah kulepaskan. Harapanku adalah semoga tinta emasnya tidak akan pernah habis.

11 Oktober 2013


Aprindo Donatus